VIKTIMISASI KORBAN PERKOSAAN


VIKTIMISASI KORBAN PERKOSAAN
Korban perkosaan merupakan salah satu korban kejahatan yang juga memerlukan perlindungan hukum. Dalam proses peradilan pidana, keberadaan korban perkosaan tetap mengkhawatirkan. Keterwakilannya oleh jaksa tidak menjadi peristiwa yang dialami menjadi terganti. Dihukumannya pelaku perkosaan tidak menghilangkan rasa traumatis yang diderita oleh korban.
Salah satu contoh kasus perkosaan adalah yang dialami oleh SB, 43 tahun, warga jalan Puntodewo Selatan, Malang. SB berhasil diperkosa, setelah dicekoki minuman keras. Korban adalah seorang janda, yang diperkosa dua orang. Dua pelakunya, YAS, 27 tahun, warga jalan Kolonel Sugiono, Malang dan AES, 27 tahun, warga jalan Permadi I, Polehan, Malang.
Korban sebelum diperkosa meminum miras terlebih dahulu bersama-sama pelaku, kemudian dia mabuk dan akhirnya tak sadarkan diri. Pelaku tergoda dengan kemolekan tubuh korban hingga nekat memperkosa korban secara bergiliran.
Dalam kasus diatas, korban berperan untuk terjadinya kejahatan. Korban termasuk kategori partisipasif, artinya dia berperan aktif dalam terjadinya kejahatan. Pelaku melakukan kejahatan karena melihat korban melakukan hal-hal yang memancing timbulnya kejahatan. Dalam hal ini korban harus selalu berhati-hati agar tidak menjadi korban.
Kasus perkosaan lain menimpa seorang wanita, yang berinisial D, perkosaan yang dia alami membuat dia pingsan dan koma selama 6 hari. D saat itu tidak membawa identitas atau barang bawaan apapun. Diduga, usai diperkosa, seluruh barang D dirampok. Dalam kasus ini, korban mengalami perkosaan dan perampokan sehingga kerugian yang diderita tidak hanya fisik dan psikis, tetapi juga kerugian material.
Korban perkosaan bukan hanya menderita sekali, melainkan bias berulang-ulang kali. Dari berbagai kasus perkosaan, ternyata persentase mereka yang mendapat perawatan pasca perkosaan jumlahnya hanya sedikit. Hanya beberapa saja yang mendapat perawatan agar tidak hamil dan tidak tertular penyakit menular seksual.
Perkosaan juga menimpa pada gadis berusia 18 tahun. Gadis tersebut ditemukan Warga Dukuh Tegalrejo, Kelurahan Tegalrejo, Kecamatan Argomulyo Salatiga, pada tanggal 4 september 2008. Dibagian pelipis korban ada luka pukulan benda tumpul. Gadis tersebut ditemukan dengan keadaan tidak sadarkan diri. Melihat keadaannya, korban mendapatkan tindak kekerasan secara fisik dan seksual dari pelaku.
Korban perkosaan yang kasusnya paling mengerikan adalah korban perkosaan DOM di Aceh. Traumatis yang berkepanjangan membuat derita tiada henti bagi korban mereka. TPF Pelanggaran HAM dan Pemulihan Aceh Utara yang melakukan investigasi ke wilayah Samalanga. Berbagai kasus menyedihkan ditemukan di sana. Di antaranya tindakan oknum aparat. Di samping penyiksaan fisik yang menimbulkan cacatseumur hidup.
Melihat beberapa kasus di atas, sudah dapat dikatakan bahwa kejahatan perkosaan merupakan sebuah kejahatan yang perlu mendapat pemikiran lebih lanjut, terutama perlindungan hukum terhadap korban perkosaannya.
Perkosaan itu sendiri menurut Pasal 285 KUHP adalah “barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara dua belas tahun”.
Dari bunyi pasal di atas, dapat dikemukakan bahwa unsur pokok dari perkosaan adalah adanya kekerasan atau ancaman kekerasan dalam melakukan persetubuhan dengan serang wanita. Wanita adalah korban dari tindak pidana perkosaan, sedangkan untuk para laki-laki tidak ada perlindungan hukum terhdap korban perkosaan, sebab laki-laki dianggap bisa membela diri dan tidak akan mendapatkan trauma yang berkepanjangan. Wanita yang disetubuhi tersebut juga harus bukan muhrimnya. Artinya tidak terkait perkawinan dengan pelaku.
Karakteristik utama dari tindak pidana perkosaan adalah, bahwa perkosaan terutama bukan ekspresi agresifitas (kekerasan) dari seksualitas (the aggressiveexsprssion of aggression) akan tetapi merupakan ekspresi seksual dari suatu (kekerasan) agresivitas (sexual expression of aggression). Bahkan ada yang mengatakan perkosaan termasuk kategori sexually assaultive atau sexual coercion.
Mengacu pada karakteristik utama tersebut maka dapat dikembangkan beberapa karakteristik umum perkosaan sebagai berikut:
1)    Agresivitas merupakan sifat yang melekat pada setiap tindak pidana perkosaan;
2)    Motivasi kekerasan lebih menonjol dibandingkan motivasi seksual semata;
3)    Secara psikologis, tindak pidana perkosaan lebih banyak mengandung masalahena melihat korban melakukan hal-hal yang memancing timbulnya kejahatan. dalam ak sadarkan diri. pelaku  kontrol dan kebencian dibandingkan dengan hawa nafsu (passion) dan keinginan semata (desire);
4)    Di lain pihak kepribadian korban perkosaan digambarkan sebagai pribadi yang partisipasif dalam tindak pidana perkosaan itu sendiri. Sikap pribadi yang demikian dikenal dengan istilah victimprecipation;
5)    Kasus perkosaan secara yuridis memiliki karakteristik kasus yang mudah untuk dilakukan penuntutan, namun sulit untuk dapat dibuktikan, bahkan lebih sulit lagi untuk dilakukan pembelaan bagi kepentingan tersangka sekalipun seharusnya dianggap tidak bersalah sebelum terbukti di muka siding pengadilan.
Bila dibandingkan dengan karakteristik di atas, di Indonesia memiliki karakteristik tersendiri, yaitu cara pandang sebagian besar masyarakat Indonesia terutama di daerah yang lebih menjungjung tinggi simbol kebapakan atau paternalism akan menghasilkan suatu kondisi di mana pelaku perkosaan semula merasa lebih dominan atas pihak (calon) korban sehingga kemungkinan terjadi power rape. Kemudian sikap ramah tamah orang Indonesia baik kepada orang yang belum rape atau acquaintance rape. Satu hal lagi, yaitu dominasi peran bapak dalam keluarga memungkinkan terjadinya child (sex)-abuse atau marital rape.
IS Susanto bahwa kejahatan kekerasan terhadap wanita, khususnya perkosaan di satu sisi di pandang sebagai kejahatan yang sangat merugikan dan mencemaskan, bukan saja wanita akan tetapi juga masyarakat dan kemanusiaan, namun di sisi lain terdapat realitas social budaya yang justru menyuburkan perkosaan seperti mitos-mitos yang brkaitan dengan jenis kelamin, budaya diskriminatif, budaya tukang sulap, budaya hukum yang tidak adil.
Arief Gosita merumuskan perkosaan melalui beberapa bentuk perilaku sebagai berikut:
1.    Korban perkosaan harus wanita, tanpa batas umur (objek). Sedangkan ada juga laki-laki yang di perkosa oleh wanita;
2.    Korban harus mengalami kekerasan atau ancaman kekerasan. Ini berarti tidak ada persetujuan dari pihak korban mengenai niat dan tindakan perlakuan pelaku;
3.    Persetubuhan di liar ikatan perkawinan adalah tujuan yang ingin dicapaidengan melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap wanita tertentu. Dalam kenyataan ada pula persetubuhan dalam perkawinan yang dipaksakan dengan kekerasan, yang menimbulkan penderitaan mental dan fisik. Walaupun tindakan ini menimbulkan penderitaan pada korban, tindakan ini tidak dapat digolongkan sebagai suatu kejahatan perkosaan oleh karena tidak dirumuskan terlebih dahulu sebagai suatu kejahatan perkosaan oleh pembuat undang-undang.
Melihat pengertian di atas Arif Gosita mengarahkan kepada pengertian perkosaan menurut KUHP, yaitu harus ada kekerasan atau ancaman kekerasan dalam berlangsungnya tindak pidana perkosaan itu. Namun lebih menekankan bahwa korban perkosaan ini adalah seorang wanita. Walaupun tidak menutup kemungkinan laki-laki pun bisa menjadi korban perkosaan.
Mengenai macam-macam perkosaan, disebutkan oleh Mulyana W. Kusuma, diantaranya sebagai berikut:
1.    Sadistic Rape
Perkosaan sadistis, artinya, pada tipe ini seksualitas dan agresif berpadu dalam bentuk yang merusak. Pelaku perkosaan telah Nampak menikmati kesenangan erotik bukan melalui hubungan seksnya, melainkan melalui serangan yang mengerikan atas alat kelamin dan tubuh korban.
2.    Angea Rape
Yakni penganiayaan yang bercirikan seksualitas menjadi sarana untuk menyatakan dan melampiaskan persaan geram dan marah yang tertahan. Di sini tubuh korban seakan-akan merupakan objek terhadap siapa pelaku yang memproyeksikan pemecahan atas prustasi-prustasi, kelemahan, kesulitan dan kekecewaan hidupnya.
3.    Dononation Rape
Yakni suatu perkosaan yang terjadi ketika pelaku mencoba untuk gigih atas kekuasaan dan sperioritas terhadap korban. Tujuannya adalah penaklukan seksual, pelaku menyakiti korban, namun tetap memiliki keinginan berhubungan seksual.
4.    Seductive Rape
Suatu perkosaan yang terjadi pada situasi-situasi yang merangsang, yang tercipta oleh kedua belah pihak. Pada mulanya korban memutuskan bahwa keintiman personal harus dibatasi tidak samapai sejauh kesenggaman. Pelaku pada umumnya mempunyai keyakinan membutuhkan paksaan, oleh karena tanpa itu tak mempunyai rasa bersalah yang menyangkut seks.
5.    Victim Precipitatied Rape
Yakni perkosaan yang terjadi (berlangsung) dengan menempatkan korban sebagai pencetusnya.
6.    Exploratation Rape
Perkosaan yang menunjukkan bahwa pada setiap kesempatan melakukan hubungan seksual yang diperoleh oleh laki-laki dengan mengambil keuntungan yang berlawanan dengan posisi wanita yang bergantung padanya secara ekonomis dan sosial. Misalnya pembantu rumah tangga yang diperkosa ole majikannya sedangkan mpembantunya tidak mempersoalkan (mengadukan) kasusnya ini kepada pihak berwajib.

            Dari beberapa jenis perkosaan di atas, ada satu jenis perkosaan yang ternyata korban dianggap sebagai pemicu atau peserta aktif dalam menimbulkan perbuatan perkosaan tersebut, yaitu yang disebut jenis Victim Precipitatied Rape. Perkosaan yang terjadi ditimbulkan oleh perilaku korban,korban berperan aktif dalam terjadinya perkosaan. Sehingga pelaku tidak sepenuhnya salah melainkan korban dianggap bersalah juga.
Praktek peradilan di Indonesia belum sepenuhnya memberikan jaminan perlindungan hukum terhadap permpuan. Pada tahap pemeriksaan terhadap korban kejahatan seperti korban perkosaan dilakukan dengan tidak memperhatikan hak-hak asasi korban. Sedangkan pada tahap penjatuhan putusan hukum, korban kembali dikecewakan karena putusan yng dijatuhkan pada pelaku cukup ringan atau jauh dari memperhatikan hak asasi permpuan.
Pihak korban masih dituntut secara detil untuk mendeskripsikan kasus yang dialaminya, menceritakan mengenai kronologis peristiwa yang melecehkannya atau mengupas ulang tragedy yang menimpanya. Hal ini selain disampaikan di depan pemeriksa (penyidik), juga masih dikupas oleh pers secara detil.
Penderitaan korban perkosaan semakin bertambah ketika dalam proses peradilan korban hanya menjadi saksi, dalam hal ini saksi korban. Sehingga korban sebagai pihak yang paling dirugikan di dalam proses peradilan pidana menurut KUHAP seolah-oalah tidakmemanusiakan, korban hanya merupakan saksi yang hanya penting untuk digunakan dalam memberikan keterangan tentang apa yang dilakukan pelaku. Bahkan penderitaan korban pun harus divisum sebagai alat bukti bahwa memang perkosaan telah terjadi.
Setelah selesai semua tahap penyidikan dan penyelidikan tersebut, setelah semua barang bukti terkumpul, maka keberadaan korban pun menjadi tidak dibutuhkan lagi. Proses peradilan pun lebih focus kepada pelaku, sehingga korban dengan sendirinya menjadi tidak mendapat perhatian lagi. Apa yang terjadi pada korban setelah perbuatan perkosaan menjadi tanggung jawab korban sendiri. Baik itu pemulihan luka maupun penyembuhan dari traumatis akibat perkosaan merupakan tanggug jawab sendiri.
Dalam KUHAP yang diatur adalah bagaimana perlindungan terhadap tersangka dalam menjalankan proses peradilan. Hak-hak tersangka dalam memperoleh bantuan hukum dan perlakuan yang adil dari system peradilan pidana. Korban sama sekali tidak mendapat hak-hak yang semestinya diperoleh sebagai pihak yang paling menderita dari akibat terjadinya kejahatan.
Penyebab terjadinya kejahatan perkosaan sendiri diakibatkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah sebagai berikut:
1.    Pengaruh perkembangan budaya yang semakin tidak menghargai etika berpakaian yang menutup aurat, yang dapat merangsang pihak lain untuk berbuat tidak senonoh dan jahat;
2.    Gaya hidup atau mode pergaulan di antara laki-laki dengan perempuan yang semakin bebas, tidak atau kurang bisa lagi membedakan antara yang seharusnya boleh dikerjakan dengan yang dilarang dalam hubungannya dengan kaedah akhlak mengenai hubungan laki-laki dengan perempuan;
3.    Rendahnya pengalaman dan penghayatan terhadap norma-norma keagamaan yang terjadi di tengah masyarakat. Nilai-nilai keagamaan yang semakin terkikis di masyarakat atau pola relasi horizontal yang cenderung makin meniadakan peran agama adalah sangat potensial untuk mendorong seseorang berbuat jahat dan merugikan orang lain;
4.    Tingkat kontrol masyarakat (social control) yang rendah, artinya berbagai perilaku yang diduga sebagai penyimpangan, melanggar hukum dan norma keagamaan kurang mendapatkan response dan pengawasan dari unsur-unsur masyarakat;
5.    Putusan hakim yang di rasa tidak adil, seperti putusan yang cukup ringan yang dijatuhkan pada pelaku. Hal ini dimungkinkan dapat mendorong anggota-anggota masyarakat lainnya untuk berbuat keji dan jahat. Artinya mereka yang hendak berbuat jahat tidak merasa takut lagi dengan sanksi hukum yang akan diterimanya;
6.    Ketidak mampuan pelaku untuk mengendalikan emosi dan nafsu seksualnya. Nafsu seksualnya dibiarkan mengembara dan menunutunnya untuk dicarikan kompensasi pemuasnya;
7.    Keinginan pelaku untuk melakukan (melampiaskan) balas dendam terhdap sikap, ucapan (keputusan) dan perilaku korban yang dianggap menyakiti dan merugikan.
Dari beberapa faktor yang dikemekakan di atas, ada dua faktor yang lebih mengarahkan kepada pelaku yang menimbulkan terjadinya perkosaan, ketidakmampuan pelaku dalam menahan nafsu seksual dan keinginan pelaku untuk balas dendam. Namun faktor pelaku pun tentu dipengaruhi oleh faktor lain yaitu gaya hidup, mode pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang sudah tidak mengindahkan etika ketimuran. Tetapi kemudian kejahatan perkosaan pun tentu tidak akan timbul apabiala adanya kontrol dari masyarakat.

Komentar

  1. Saya ingin perkenalkan kepada saudari semua khususnya yang akan melangsungkan pernikahan. Yaitu sebuah produk yang sangat revolusioner dengan nama selaput dara buatan. Selaput dara buatan ini berfungsi untuk menciptakan sebuah peristiwa yang sangat penting. Peristiwa apakah itu ? yaitu peristiwa terjadinya pendarahan di malam perkawinan anda. Bagaimana mungkin anda bisa kembali berdarah pada saat anda melewati malam pertama perkawinan anda jika anda sudah pernah melewatinya tanpa diawali dengan upacara perkawinan yang semestinya ? atau bisa jadi karena anda pernah mengalami kejadian yang tidak anda sengaja sehingga anda harus kehilangan selaput dara anda. Selaput dara buatan adalah solusi tepat untuk mengantisipasi keadaan tersebut. Diciptakan oleh ahli kesehatan Jepang pada tahun 1993 dan sudah terbukti aman dipergunakan, karena dibuat dari bahan yang mudah larut dan akan hilang bersama dengan cairan yang keluar dari alat kelamin wanita. Mudah digunakan dan tergolong murah jika dibandingkan dengan operasi selaput dara yang selama ini sudah banyak dilakukan oleh dokter kandungan. Apa yang terjadi pada malam pernikahan anda ketika anda sudah memakai Selaput Dara Buatan ini ? Tentunya suami akan mendapati anda adalah sosok wanita yang tepat bagi suami anda. Karena suami anda akan mendapati darah pada alat kelamin anda dan pada alas tempat tidur anda. Bukankah ini adalah sebuah momen yang paling ditunggu-tunggu pada kebanyakan pria ? Tunggu apa lagi. Segera pertimbangkan sekarang juga. Jangan membuat suami tercinta anda kecewa selamanya. Detail produk bisa kirim sms ke nomor 085852087449 atau invite 2A8D426

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini